Jumat, 14 April 2017

Harga MATI dan Harga AKHIRAT

Dalam kehidupan di Dunia ini ada dua target untuk mencapai cita-cita kehidupan dunia yang serba berkecukupan   dan penuh kesejahteraan. Pertama adalah sampai target kematian dan tidak percaya lagi ada kehidupan selanjutnya dan karena itu digunakanlah segala kemungkinan yang tersedia untuk di-eksplotasi sehingga yang  serakah semakin menderita untuk mencapai hasil semaksimal mungkin sebelum datangnya maut.  
Kedua,  bagi mereka yang beragama percaya bahwa setelah kematian masih  ada kehidupan di Akhirat, yang jauh lebih bermutu dan kekal, tidak memerlukan usaha seperti hidup di dunia yang kadang2 penuh penderitaan. Jadi hidup mereka    se-hari2 di permukaan Bumi ini jauh lebih tenang dan terkontrol sesuai dengan ajaran agama.   
Namun yang menarik disini adalah kasus dari pihak target kedua mereka juga membutuhkan  kehidupan dunia sampai kematian. Sebagai contoh dapat diberikan bahwa demi kepentingan  masyarakat Dunia setiap manusia terlibat dalam kegiatan ber-negara,  partai2 politik dan demokratisasi, hasil2 inovasi, kecerdasan, kepemimpinan, pangkat dan harta kekayaan yang semua ini, tidak mungkin bisa diboyong masuk ke Akhirat. Selagi masih ada kekuasaan Pemerintahan yang sah, maka peninggalan-2 tersebut akan tinggal di Bumi untuk dilanjutkan pewarisannya, di-urus, dan diselenggarakan secara otoriter sesuai dengan motivasinya  dan kemudian ada yang bisa dinikmati,  selama berlangsungnya kehidupan serta kematian manusia  secara terus menerus diatas Bumi ini.
Jadi perangkat-perangkat serta usaha-usaha kepentingan masyarakat Dunia tersebut diatas, rotasinya sangat singkat. Bagi manusia berusia normal (70 tahun), hanya bisa memiliki dan menikmatinya selama 45-50 tahun saja, sebelum berpindah ke tangan lain. Hal tersebut berlaku bagi kedua belah pihak, selama mereka hidup di dunia.
Di Akhirat nanti ada manusia yang sampai dengan selamat dan ada pula yang tidak selamat. Yang sampai dengan selamat adalah Ummat yang sewaktu hidup di Bumi mereka beragama dan berakhlaq/berkelakuan  sesuai dengan kehendak agama Allah. Walaupun mereka ikut menikmati kehidupan Dunia, mereka selalu jujur dan ikhlas dalam menyelenggarakan kepentingan hidup masyarakat Dunia dan bertanggung jawab penuh atas usaha-usaha yang telah mereka lakukan.
Berbeda dengan kelompok pihak pertama, mereka juga melakukan petunjuk2 rukun agama dan rukun Iman agar nanti mereka dijamin akan masuk Surga.
Pancasila hanya memiliki satu harga Akhirat yaitu sila pertama, selebihnya adalah sila2 buatan manusia dan bernilai harga Mati. Supaya tidak rumit dalam menilai Pancasila dan agama, maka perlu dikaji sampai dimana motif agama dan motif politik berlaku pada Pancasila. Itulah keterangan diatas bahwa ranah agama yang berlaku di Indonesia, hanya terletak pada sila pertama: “Ketuhanan yang maha Esa”, selebihnya adalah ranah politik dan/atau demokrasi.
Kalau kita mau memilih seorang pemimpin Islam atau non Islam, lebih baik kita pilih pemimpin yang non Islam tersebut secara demokratis karena yang non Islam tidak memiliki harga Akhirat. Pilihan dilakukan diluar sila pertama dan diluar ranah agama. Demikianlah syariat yang berlaku bagi mereka.
Pada kasus  sebaliknya apabila calon pemimpin tersebut beragama Islam kita akan kaji dengan melibatkan Syariat hukum Islam dengan berdakwah dan sesuaikan pilihan kita dengan Firman Allah, karena dia sebagai seorang Islam memiliki harga Akhirat. Hati-hati janganlah dicampur adukan dakwah dengan demokrasi seperti yang telah terjadi pada kasus AHOk. Sesuai keterangan AHOK lawan2 politiknya selalu bernaung dibalk kitab suci “seakan-akan kita telah tertipu  bahwa Firman Allah bisa dijadikan AZAS DEMOKRASI”, padahal itu adalah Dakwah (Firman Allah), sedangkan demokrasi adalah ciptaan manusia. Ini adalah dosa, apabila Firman Allah diputuskan secara demokratis.  Jelas, tidak ada disini penistaan agama oleh Ahok.
Dengan demikian maka kriteria memilih harus sesuai dengan Syariat.
Jakarta, 09 April 2017
Ing. Eddy R. Jahja