Harga
MATI dan Harga AKHIRAT
Dalam kehidupan di Dunia ini ada dua target untuk
mencapai cita-cita kehidupan dunia yang serba berkecukupan dan
penuh kesejahteraan. Pertama adalah sampai target kematian dan tidak percaya
lagi ada kehidupan selanjutnya dan karena itu digunakanlah segala kemungkinan
yang tersedia untuk di-eksplotasi sehingga yang
serakah semakin menderita untuk mencapai hasil semaksimal mungkin
sebelum datangnya maut.
Kedua, bagi
mereka yang beragama percaya bahwa setelah kematian masih ada kehidupan di Akhirat, yang jauh lebih
bermutu dan kekal, tidak memerlukan usaha seperti hidup di dunia yang kadang2
penuh penderitaan. Jadi hidup mereka
se-hari2 di permukaan Bumi ini jauh lebih tenang dan terkontrol sesuai
dengan ajaran agama.
Namun yang menarik disini adalah kasus dari pihak target
kedua mereka juga membutuhkan kehidupan
dunia sampai kematian. Sebagai contoh dapat diberikan bahwa demi kepentingan masyarakat Dunia setiap manusia terlibat dalam
kegiatan ber-negara, partai2 politik dan
demokratisasi, hasil2 inovasi, kecerdasan, kepemimpinan, pangkat dan harta
kekayaan yang semua ini, tidak mungkin bisa diboyong masuk ke Akhirat. Selagi
masih ada kekuasaan Pemerintahan yang sah, maka peninggalan-2 tersebut akan
tinggal di Bumi untuk dilanjutkan pewarisannya, di-urus, dan diselenggarakan secara
otoriter sesuai dengan motivasinya dan
kemudian ada yang bisa dinikmati, selama
berlangsungnya kehidupan serta kematian manusia secara terus menerus diatas Bumi ini.
Jadi perangkat-perangkat serta usaha-usaha kepentingan
masyarakat Dunia tersebut diatas, rotasinya sangat singkat. Bagi manusia
berusia normal (70 tahun), hanya bisa memiliki dan menikmatinya selama 45-50
tahun saja, sebelum berpindah ke tangan lain. Hal tersebut berlaku bagi kedua
belah pihak, selama mereka hidup di dunia.
Di Akhirat nanti ada manusia yang sampai dengan
selamat dan ada pula yang tidak selamat. Yang sampai dengan selamat adalah
Ummat yang sewaktu hidup di Bumi mereka beragama dan berakhlaq/berkelakuan sesuai dengan kehendak agama Allah. Walaupun
mereka ikut menikmati kehidupan Dunia, mereka selalu jujur dan ikhlas dalam
menyelenggarakan kepentingan hidup masyarakat Dunia dan bertanggung jawab penuh
atas usaha-usaha yang telah mereka lakukan.
Berbeda dengan kelompok pihak pertama, mereka juga
melakukan petunjuk2 rukun agama dan rukun Iman agar nanti mereka dijamin akan
masuk Surga.
Pancasila hanya memiliki satu harga Akhirat yaitu sila
pertama, selebihnya adalah sila2 buatan manusia dan bernilai harga Mati. Supaya
tidak rumit dalam menilai Pancasila dan agama, maka perlu dikaji sampai dimana
motif agama dan motif politik berlaku pada Pancasila. Itulah keterangan diatas
bahwa ranah agama yang berlaku di Indonesia, hanya terletak pada sila pertama:
“Ketuhanan yang maha Esa”, selebihnya adalah ranah politik dan/atau demokrasi.
Kalau kita mau memilih seorang pemimpin Islam atau non
Islam, lebih baik kita pilih pemimpin yang non Islam tersebut secara demokratis
karena yang non Islam tidak memiliki harga Akhirat. Pilihan dilakukan diluar
sila pertama dan diluar ranah agama. Demikianlah syariat yang berlaku bagi
mereka.
Pada kasus
sebaliknya apabila calon pemimpin tersebut beragama Islam kita akan kaji
dengan melibatkan Syariat hukum Islam dengan berdakwah dan sesuaikan pilihan
kita dengan Firman Allah, karena dia sebagai seorang Islam memiliki harga
Akhirat. Hati-hati janganlah dicampur adukan dakwah dengan demokrasi seperti
yang telah terjadi pada kasus AHOk. Sesuai keterangan AHOK lawan2 politiknya
selalu bernaung dibalk kitab suci “seakan-akan kita telah tertipu bahwa Firman Allah bisa dijadikan AZAS
DEMOKRASI”, padahal itu adalah Dakwah (Firman Allah), sedangkan demokrasi
adalah ciptaan manusia. Ini adalah dosa, apabila Firman Allah diputuskan secara
demokratis. Jelas, tidak ada disini penistaan
agama oleh Ahok.
Dengan demikian maka kriteria memilih harus sesuai
dengan Syariat.
Jakarta, 09 April 2017
Ing. Eddy R. Jahja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar